Cerpen Angga Murdotillah
Malam ini butiran gerimis berubah menjadi hujan yang membasahi bumi. Di seberang jalan terdengar riuh raungan sirene mobil polisi.
Sesekali bunyi tembakan terdengar, membuat orang-orang menutup telinga sambil menunduk ketakutan. Sementara itu, aku masih mencerna apa yang sedang terjadi di sekitarku. Aku juga tidak tahu di mana aku berada.
Semua orang tampak asing di mataku. Bangunan-bangunan serta jalanan yang basah sama sekali belum aku kunjungi sebelumnya. Aku berdiri mematung, melihat kanan-kiri, kacau.
Apakah telah terjadi pembunuhan? Atau ada penangkapan teroris? Mungkinkah aku berada di wilayah konflik? Belum sempat aku menguraikan isi pikiran, seorang pria dewasa dengan pakaian serba hitam menarik tanganku. Ia menyeretku lari. Tangan kanannya memegang sebuah koper hitam. Beberapa polisi mengejar kami dari belakang. Sesekali tembakan diarahkan kepada aku dan pria yang tidak aku kenal ini.
“Bodoh!. Polisi sedang mengejar kita, kenapa diam di situ?” umpat pria itu sambil terus berlari dan tidak melepaskan tanganku.
“Siapa kamu? Mengapa polisi mengejar kita?” tanyaku heran.
Pria itu tidak peduli pertanyaanku. Wajahnya ketakutan. Sesekali ia memerhatikan sekeliling, seakan mencari tempat berlindung. Aku yang masih kebingungan tidak dapat berbuat apa-apa. Nafasku mulai tersengal-sengal mengikuti kakinya yang berlari kencang. Pria itu membawaku membelah hujan di jalanan. melewari lorong-lorong di antara bangunan perkotaan yang padat.
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Kakiku sudah tidak sanggup lagi berlari lebih jauh. Di lorong yang gelap aku mencoba mengatur napas dan berhenti berlari. Lelaki itu berseru keras. “Hei, kenapa berhenti? Kamu mau ditangkap polisi dan mendekam di penjara?”
“Aku benar-benar tidak mengerti yang sebenarnya terjadi. Mengapa polisi mengejar kita? Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa kamu”. Dengan kesal aku mengeluarkan seluruh pertanyaan yang sedari tadi bergelut di kepalaku.
“Hah gila. Kita baru saja merampok sebuah bank, dan kamu bertanya mengapa polisi mengejar kita?” jelasnya dengan napas tersengal-sengal sambil menunjukan koper hitam yang berisi uang hasil rampokan.
“Sudah jangan banyak mikir! Ayo lari lagi. Kita harus menemukan tempat yang benar-benar aman. Dua teman kita mati tertembak setelah mencoba kabur dari polisi!” lanjutnya.
Aku diam membisu. Jantungku terasa berhenti berdetak. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Mengapa aku ada di sini sebagai seorang perampok? Kakiku bergetar, aku tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Lelaki itu kembali menarik tanganku dan menyeretku yang diam membisu.
Belum jauh kami meninggalkan lorong tadi, suara tembakan nyaring terdengar dari belakangku. Beberapa polisi berhasil menemukan jejak kami. sesekali salah satu dari mereka meneriaki kami untuk berhenti dan menyerahkan diri. Namun lelaki yang sedari tadi memegang tanganku ini tidak ingin menyerah. Dia tak bosan memperingatkanku untuk terus berlari.
Duaarrr.... Duaarrr
Polisi tersebut berhasil menembakku. Dua peluru terasa bersarang di punggungku. Aku mulai merasakan darah mengalir di balik baju. Aku jatuh tersungkur ke tanah. Sedangkan lelaki itu berhasil lolos dan meninggalkanku yang lemah tak berdaya.
Wajahku terbentur hebat ke tanah. Semua terasa hening. Darah mengalir dari kedua hidungku.
“Cepat kejar dia! Biar ini aku yang mengurusnya!” Kata-kata terakhir yang aku dengar dari salah satu polisi tersebut. Setelah itu aku tidak mendengar apa-apa lagi. Mataku mulai redup. Semua terlihat remang. Dan akhirnya gelap.
Sontak aku kaget saat cipratan air mendarat di wajahku. Terdengar suara perempuan yang tidak asing lagi di telingaku.
“Andi bangun. Udah jam berapa ini!” Suara ibu terdengar jelas.
Astaga. Ternyata tadi hanya mimpi. Aku duduk di atas kasur dengan napas tersengal-sengal. Meraba punggungku untuk memastikan tidak ada luka tembakan. Ibu menatapku heran melihat anaknya yang baru bangun namun tampak seperti habis dikejar-kejar setan.
Aku menghela napas panjang. Sinar matahari terasa hangat menyapa tubuhku, saat ibu membuka jendela kamar. Aku baru saja mengingat telah menghabiskan waktu hingga larut malam dengan menonton film action tentang perampokan bank.
“Cepat Andi!!! Bukannya langsung mandi, malah ngelamun di situ. Nanti kamu terlambat sekolah!” Ibu menarik tanganku agar bangun dari tempat tidur.
“ Iya iya,” gerutuku sambil berjalan ke kamar mandi.
***
Aku berlari cepat dengan rambut yang belum sempat kurapihkan selepas mandi. Aku bergegas mengingat beberapa menit lagi gerbang sekolah akan ditutup, karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
Jalanan terlihat ramai pagi ini. Banyak orang-orang yang melakukan aktivitas pagi hari. Membeli sarapan, mengantar anaknya ke sekolah, berangkat kerja, hingga petugas kebersihan kota.
“Woy! Kalau jalan pake mata dong!” Seru tukang bubur yang sempat aku tabrak bahunya tanpa sengaja.
“Kata siapa jalan pake mata? Jalan itu pake kaki, Pak,” jawabku sambil tertawa kecil dan melanjutkan berlari.
Aku melihat wajah yang kesal dalam raut muka tukang bubur tersebut. Dan akhirnya melemparkan salah satu sandalnya ke arahku. Hihi. (*)
*) Mahasiswa UIN SMH Banten ini adalah Zetizen Banten Jurnalistik 2021. Tinggal di Ciomas, Kota Serang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar