![]() |
Ilustrasi diambil dari iklan cokelat Dilan. |
Cerpen Angga Murodatillah
“Huftt… akhirnya selesai juga,” ucapku lega setelah menyelesaikan hukuman membersikan toilet sekolah karena datang terlambat pagi tadi.
Lorong sekolah terlihat sepi. Kursi dan meja hanya diam membisu ditinggal para siswa yang biasa menjadikan mereka budak saat belajar. Langkah kakiku terdengar jelas di antara bangunan bercat putih tanpa penghuni. Setiap ruangan yang aku lalui hanya menggambarkan kesunyian tanpa ada kehidupan.
Langkahku terhenti tepat di depan gudang sekolah saat terdengar sesuatu dari dalam. Rasa takut sekaligus penasaran seperti menghipnotisku untuk perlahan melihat ke dalam gudang. Aku melangkah dengan berjaga-jaga menuju tumpukan kardus yang menjadi tempat sumber suara.
Deg! Jantungku berdebar cepat.
Meeeoonggg! Sontak aku kaget.
“Sialan, dasar kucing gila!” Nafasku tersengal-sengal karena takut sekaligus kaget.
Dengan nafas yang belum normal sepenuhnya, aku pergi meninggalkan perkara kucing yang membuatku kaget setengah mati. “Kucing sialan,” umpatku dalam hati.
Saat aku keluar dari gudang, seorang siswi sedang menangis di balik pintu.
“Hei, sedang apa di situ?” Perlahan aku menghampirinya.
“Mengapa menangis sendirian di gudang?” Aku memegang bahunya dengan hati-hati.
Siswi itu membalikkan wajahnya. Menatapku seolah ingin menerkam. Matanya merah, darah bercucuran di tubuhnya, kulitnya pucat dan terkelupas.
“Arghhhh,” teriakku sejadi-jadinya.
Sontak aku kaget, ketika percikan air mendarat di wajahku.
“Winda, bangun!! Lihat udah jam berapa ini, kamu harus pergi ke sekolah,” kata wanita yang suaranya familiar sambil terus mencipratkan air ke wajahku.
Sambil membuka jendela, ibu tetap memarahiku karena bangun terlambat lagi. Mulutnya terus mengeluarkan kata-kata yang tidak aku hiraukan. Ketika aku masih memikirkan mimpi tadi, ibu mengangkat tanganku untuk beranjak dari tempat tidur. “Bukannya langsung mandi, malah ngelamun.”
“Iya, iya, aku mandi sekarang,” gerutuku sambil berjalan menuju kamar mandi.
***
“Teng…. Teng….” Bel pulang sekolah terdengar nyaring di luar. Pelajaran matematika mampu membuat kami menghela nafas panjang saat mendengar bel berbunyi.
“Winda!!” Suara Andin mampu membuyarkan lamunanku.
“Ayo pulang, dari tadi aku perhatiin ngelamun aja,” ajak Andin sambil tersenyum kepadaku.
“Ada apa? Habis nonton film yang sad ending? Pemeran utamanya menderita? Atau…”, aku langsung menarik tangan Andin untuk duduk di sampingku dan memotong perkataannya.
Tiga tahun bersahabat dengan Andin, membuat dia tahu kebiasanku yang sering galau setelah nonton film dengan sad ending.
“Din, pernah dengar hantu seorangan siswi yang ada di gudang sekolah kita?” Tanyaku serius.
“Semalam aku mimpi bertemu dengan hantu itu. Wajahnya seram serta tatapan mata yang hendak merkam. Pokonya serem banget.”
Andin melihatku dengan menahan tawa. “Winda, udah, itu cuma mimpi aja, jangan terlalu dipikirin.”
“Yaudah, ayo pulang,” ajakku kesal.
Aku dan Andin pergi meninggalkan kelas. Berjalan beriringan melewati lorong sekolah yang mulai ditinggalkan penghuninya. Di sepanjang langkah, Andin bercerita kepadaku bahwa dia pernah mendengar cerita hantu perempuan yang ada di gudang sekolah kita. Sosok perempuan yang tidak lain adalah puteri dari pendiri pertama sekolah ini. Cantik, pintar, dan baik hati, kerap menggambarkan sosok perempuan berusia 20 tahun itu. Perempuan yang menjadi kebanggaan orangtuanya itu selalu mendapatkan kasih sayang yang penuh dari seluruh keluarga.
Namun, nasibnya tidak sebagus prestasinya. Dia ditemukan tewas di depan rumah karena tertabrak sebuah truk pengangkut barang. Duka yang mendalam sangat dirasakan seluruh keluarga, terutama kedua orangtuanya. Andin juga menjelaskan kepadaku, alasan didirikan sekolah ini untuk mengenai puteri kesayangan mereka.
“Sayang sekali ya Din, umurnya tidak panjang,” ucapku lirih.
Langkah kami terhenti saat pintu yang ada di samping aku dan Andin terbuka dengan sendirinya. Kami saling bertatapan dengan penuh keheranan karena tidak ada angin sedikitpun saat ini. Secara tiba-tiba, rasa penasaran muncul dalam diriku.
“Udah Win, ayo pulang aja. Mungkin cuma angin doing,” Andin berusaha memegang tanganku yang hendak melihat ke dalam. Rasa takut terlihat jelas dari raut mukanya yang cemas.
Aku melangkah dengan sangat hati-hati. Berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang akan terjadi. Andin mengikutiku dari belakang, tangannya memegang erat tanganku sambil membujukku agar langsung pulang. Tidak dapat dipungkiri, bulu kudukku berdiri dan suasana dingin menyelimuti seisi ruangan.
Duarrr!! Suara pintu yang tertutup tiba-tiba membuat kami kaget.
Andin yang semakin panik mencoba untuk membuka pintu sebisa mungkin. Ketika kami sedang berusaha membuka pintu, Andin berbalik arah menghadapku. Dia terdiam menatap sesuatu yang ada di belakangku. Kaki gemetar dengan wajah pucat, terlihat jelas saat aku melihatnya. Aku berusaha menggerakka tanganku di depan matanya. Namun tidak berhasil, matanya masih menatap ke belakangku.
“Andin, kamu kenapa ?” tanyaku cemas.
“I..i..i..tt…u,” Andin mengangkat tangannya dan menunjuk ke belakangku.
Aku perlahan mengerakkan kepalau ke belakang. Sontak aku kaget dan terkejut melihat sosok perempuan dengan wajah ditutupi rambut, serta pakaian yang penuh dengan darah, berjalan ke arah kami.
“Aaarghhh,” teriakku kencang.
“Tolooonnggg… aaarrghhhh,.” Andin berteriak meminta tolong sambil berusaha membuka pintu yang terkunci.
Sosok wanita itu terus melangkah maju dengan perlahan ke arah kami. kedua tangan hantu tersebut mulai mengangkat tangannya dan hendak menerkam aku dan Andin. Kami semakin terpojok. Dengan nafas tersengal-sengal aku dan Andin tetap berusaha untuk membuka pintu.
“Brukk…,” aku dan Andin terjatuh saat pintu tiba-tiba bisa terbuka. Seorang petugas kebersihan keheranan melihat kami dengan keringat bercucuran serta nafas yang tersengal-sengal.
“Kenapa, Dek?” Tanya petugas kebersihan kepada kami.
“I…ii..tu pak, di dalam ada hantu,” aku berusaha menjelaskan kepada bapak petugas kebersihan walaupun dengan terbata-bata.
Petugas kebersihan itu tersenyum melihat kami ketakutan dan panas dingin. Setelah menenangkan kami, laki-laki paruh baya tersebut memberikan sebotol air putih kepada aku dan Andin.
“Dek, sosok hantu yang barusan kalian lihat sering sekali menampakkan wujudnya di tempat ini”. Kata petugas kebersihan sambil meletakkan sapu yang ada di tangannya.
“Hantunya tidak jahat. Dia biasa menampakkan diri ketika siswa sekolah ini ada yang ngelantur, atau berbuat yang tidak semestinya. Karena dia gak suka, sekolah yang didirikan oleh ayahnya ini disalahgunakan.”
Mendengar penjelasan petugas kebersihan tadi, aku menerka-nerka, menggeledah isi pikiranku mengapa hantu tersebut menampakkan dirinya kepadaku. Apakah aku melakukan kesalahan?
“Winda, aku minta maaf. Sebenarnya ini salahku,” ucapan Andin bershasil merebut perhatianku.
“Sebenarnya, hantu itu tidak senang melihatku. Karena aku memiliki niatan jahat untuk mengunci Rudi sendirian di gudang karena telah mengkhianatimu. Dia telah melukai perasaanmu dengan berselingkuh dengan adik kelas kita sendiri.”
Aku menghela nafas panjang, memegang erat tangan Andin dan melihat matanya yang penuh penyesalan. Ternyata Andin begitu peduli terhadapku. Dia tidak terima jika aku disakiti. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar