![]() |
Ilustrasai gambar dari internet |
Cerpen: Mila Amelia
Mentari pagi bersinar menerangi Kota Metropolitan yang tak luput dari kepadatan aktifits setiap orang yang tengah sibuk dengan kesibukannya masing-masing mencari nafkah dari berbagai peluang yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa.
Arya Adi Pratama, merupakan seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI); semester tiga; jurusan Manajemen. Ia berasal dari Pandeglang, Banten, yang merantau ke Kota Metropolitan demi melangsungkan pendidikannya. Dikri Nugraha adalah teman kostnya yang berasal dari Tangerang. Ia merupakan seorang mahasiswa UI juga dengan jurusan Teknik Kimia. Seperti biasa, mereka terkadang singgah di tempat makan setelah pulang dari kampus.
”Kita makan ketoprak disana yuk!” kata Arya sambil menunjuk ke pedagang ketoprak di sebrang jalan.
“Ayo, gue laper banget nih.” Balas Dikri sambil berjalan menuju ke tempat pedangang ketoprak.
Sesampainya di tempat itu, mereka langsung memesan 2 porsi ketoprak dan 2 gelas es teh manis. Tak lama kemudian, pesanan mereka diantar oleh sang pedagang.
“Ini mas ketopraknya” kata pedagang ketoprak sambil meletakan pesanannya.
“Iya, bang. Terimakasih” Sahut Arya sambil tersenyum.
“Kalo boleh tau, mas-mas ini dari mana?” Tanya pedagang ketoprak sambil duduk di sampang Dikri.
“Kami dari Banten, Bang.” Ujar Dikri.
“Owhh, cukup jauh juga, ya” kata pedagang ketoprak sambil membayangkan perjalanan yang ditempuh.
“Abang sendiri dari mana?” Tanya Arya penasaran setelah memasukkan ketopraknya ke dalam mulutnya.
“Saya, asli orang sini, Mas.” Jawab pedagang ketoprak.
“Udah berapa lama jualan ketoprak, Bang?”Tanya Arya penasaran.
“Hampir 6 bulanan, semenjak dipecat dari kantor, Mas.” Ujar pedagang ketoprak sambil membayangkan masa lalunya.
“Emang abang dipecatnya gara-gara apa?” Tanya Dikri yang tak kalah penasaran.
“Saya di PHK, Mas. Dulu saya bekerja sebagai Manager di sebuah perusahaan pertambangan. Pada saat itu, bos saya terbukti korupsi oleh aparat dan dengan kebetulan saya ada di tempat kejadian dan dituduh terlibat dalam tindakan tersebut. Hingga pada akhirya, kami dipenjara selama satu tahun. Tapi bos saya bisa keluar lebih awal karena menyogok para aparat dengan ratusan juta uang. Namun apalah daya, saya hanya bisa pasrah dan menunggu waktunya tiba agar saya bisa terbebas dari sel tahanan itu.” Jelas pedagang ketoprak tersebut.
“Memang Negara ini sudah sangat kacau, orang yang sudah terbukti salah dibiarkan dan yang sudah jelas benar malah terjerumus.” Ujar Arya dengan intonasi yang sedang kesal.
Setelah beberapa lama berbincang-bincang sambil menghabiskan ketoprak yang mereka pesan, lalu mereka berdua memutuskan untuk langsung pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 16.00 WIB.
![]() |
Ilustrasi dari internet |
Keesokan harinya Dikri dan Arya berangkat ke kampus secara bersamaan. Setibanya di kampus, mereka melihat kondisi di kampus sangat kacau karena adaanya aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa. Dikri pun langsung menghampiri sekelompok mahasiswa yang sedang aksi tersebut. Tetapi tidak dengan Arya, ia memilih untuk masuk kelas karena menurutnya belajar itu lebih penting dari pada hal apapun. Arya memang terkenal sebagai mahasiswa yang cukup aktif di kampus dan di kelas. Ia selalau mengikuuti event lomba, baik tingkat jurusan, fakutas, kampus, nasional bahkan internasioanal. IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) nya selalu naik setiap semesternya.
Sesampainya di kelas, Arya merenung dan memikirkan tentang kondisi negaranya saat ini “Apakah benar negara ini sudah dikuasai oleh orang-orang ber-uang? Orang-orang lemah diinjak begitu saja? Tidak dihagainya pendapat orang yang berada di kalangan bawah? Yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan? Entahlah..” katanya di dlam hati.
Saat di perjalanan pulang, Arya menatap ke gedung DPR “Kelihatannya bapak-bapak itu tidak ada beban sama sekali” gerutu Arya dalam hatinya.
Saat itu Arya tidak ditemani oleh Dikri, karena Dikri masih sibuk dengan aksinya. Dikri memang anak yang suka ikut aksi demo, dia tidak pernah absen dari aksi-aksi itu, baik aksi di kampus maupun merujuk pada pemerintah. Sangat berbalik dengan dirinya, ia sama sekali tidak pernah ikut demo.
Arya pun sampai di kostan, ia meletakkan tasnya di atas meja belajarnya dan langsung pergi ke kamar mandi. Setelah itu ia shalat kemudian makan. Ketika hendak mengerjakan tugas yang disuruh oleh dosennya tadi pagi, ada suara ketukan pintu “Ah paling Dikri” ucapnya dalam hati. Ia pun langsung menghampiri arah suara untuk membuka pintu.
“Tuk..tuk.. Arya…” panggil Dikri sambil mengetuk pintu.
“Iya sabar …” balas Arya yang segera berlari dan langsung membukakan pintu.
“Lama banget sih” keluh Dikri.
“Gue baru selesai makan, tadi. Yaudah masuk.” Dikri langsung masuk dan menuju kamar dan bersiap untuk pergi mandi.
Sedangkan Arya kembali ke meja belajarnya untuk mengerjakan tugasnya. Ia teringat tentang keadaan negeri saat ini, hingga pada akhirnya Dikri pun datang menghampirinya.
“Rugi elu gak ikut tadi” Sindir Dikri.
“Gue kan gak suka ikut Aksi-aksi demo kaya gitu…” keluh Arya.
“Tapi kasus kali ini beda. Negara kita saat ini sedang dijajah oleh para penguasa ditanah air. Akan jadi apa bangsa ini kedepannya? Kalau bukan kita yang mempertahankannya siapa lagi? Elu mau anak cuculu ngga bisa hirup udara seger kaya kita ini karena udah dikuasai oleh penjajah? Coba berfikir jernih…” jelas Dikri.
Arya terus memikirkan apa yang dikatakan oleh temannya itu, sehingga ia tidak bisa tidur. Sampai pada akhirnya suara adzan subuh pun berkumandang dan ia langsung membangunkan Dikri untuk shalat berjamaah di Mesjid.
Di pagi hari ketika hendak berangkat ke kampus, Dikri teringat bahwa hari ini akan ada aksi demo susulan.
“Oh ya. Arya, hari ini ada aksi lagi, elu mau ikut gak?” tawar Dikri.
“Nggak Dik, gue ada tugas” tolak Arya.
“Ah, cemen lu” kata Dikri.
Arya merasa kesal dengan apa yang diucapkan oleh Dikri hingga diperjalanan mereka tidak berbincang-bincang seperti biasanya karena adanya perbedaan antara keduanya, yang mana Arya lebih mementingkan tugasnya dan Dikri lebih senang dengan aksi yan akan diikutinya.
Sesampainya di kampus, Arya langsung terburu-buru masuk kelas karena ia ada jadwal Mata kuliah pagi dan meninggalkan Dikri yang masih sibuk mencari tempat untuk memarkirkan motornya. Ketika hendak mamasuki kelas, Arya tidak sengaja melihat ke ruangan Dekan. Terlihat dua orang polisi sedang menginterogasi Dekan tersebut.
Mereka berbicang-bincang dengan waktu yang cukup lama. Pada awalnya, Arya berniat untuk mendengakan pembicaraan tersebut tetapi karena ada kelas, niat arya pun terulurkan dengan rasa penasaran yang terus menyelimuti dirinya.
Setelah kelas selesai, Arya langsung menghampiri ruangan dekan, berharap polisi tersebut masaih ada disana. Dugaan Arya benar polisi masih ada disana, ketika Arya melihat ke ruangan, dekan memberikan sejumlah uang yang begitu besar. “Ada apa dengan uang tersebut?” dalam hatinya mengatakan sedemikian.
Tidak lama setelah polisi mendapatkan uang tersebut, akhirnya polisi pun pergi. Arya yang penasaran dengan dua orang polisi pun langsung mengikuti keduanya. Ternyata polisi tersebut pergi ke kantor pusatnya untuk menyerahkan sejumlah uang tersebut kepada atasannya. Arya tidak bisa masuk ke dalam karena di luar penjagaanya sangat ketat. Hari sudah menunjukan pukul 17.00 Arya masih berdiam diri di bawah pohon mangga dekat kantor polisi sambil mengawasi polisi tersebut. Tiba-tiba dua polisi itu keluar bersama dengan ketuannya.
“Lalu bagaimana kasus selanjutnya, Pak?” tanya salah seorang polisi tersebut kepada atasannya.
“Ya, jangan diproses hukum kalau udah bayar uangnya” jawab atasanya tersebut.
“Siap pak” balas kedua polisi lainnya yang merupakan bawahan dari salah satunya sambil mengangkat tangannya tanda hormat.
Arya kaget mendengar perkataan tersebut. ”Jadi semuanya bisa dibeli dengan uang, lalu apa gunanya hukum di Negara ini?” Seketika Arya ingat dengan perkataan Dikri yang selalau memberitahunya tentang keadaan Negara saat ini. Arya pun langsung pergi meninggalkan tempat tersebut.
Keesokan harinya Arya berangkat ke kampus tidak dengan Dikri. Arya sengaja berangkat lebih pagi dan ia ingin menylidiki ke Gedung DPR. Ia mendengar isu-isu yang bererdar di tengah masyarakat saat ini mengenai disahkannya Undang-Undang baru oleh perwakilan rakyat yang dimana Undang-Undang tersebut bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat pada saat ini. Namun sayangnya Arya tidak dapat masuk ke dalam gedung tersebut, karena tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalam sana. Arya pun pergi dari tempat itu. Saat memasuki gerbang kampus, Arya melihat sekelompok mahasiswa yang akan melakukan aksi demo, dan salah satu dari mahasiswa tersebut adalah Dikri. Arya pun langsung menghampirinya.
”Dik, emang mau demo kemana?” Tanya Arya.
“Mau demo ke gedung DPR” jawab Dikri
”Gue ikut yah” tawar Arya.
“Wah yang bener, lu?” kata Dikri yang langsung sumringah mendengar perkataan Arya.
“Iya gue nyadar, Dik. Ternyata semua yang loe ceritain ke gue bener” jawab Arya dengan penuh kesadaran.
Mereka pun langsung menghampri para mahasiswa lain untuk berdemo menuju gedung DPR dan Arya memberanikan diri untuk menjadi pemimpin demo tersebut. Sesampainya di gedung DPR, Arya langsung menyuarakan suara para mahasiswa kepada penguasa Negeri.
SALAM PERGERAKAN!
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT!
TERUNTUK NEGERI KAMI!
“Wahai para penguasa, sudahkah Bapak-Ibu memperhatikan nasib kami, nasib para mahasiawa dan rakyat. Bukan para penguasa atau pun bangsawan. Karena semuanya tidak ada perbedaan kasta begitu pun dengan keadilan. Yang benar harus ditegakan dan yang salah harus dikenai proses hukum sesuai dengan kesalahannya bukan sebaliknya.
Wahai para pemangku kebijakan, kami bergerak turun ke jalan karena nurani tidak menerka apapun bentuk penindasan, dan jika kau hanya diam dan menonton kami melalui jendela emasmu maka kau adalah manusia yang tak waras yang wajib dikasihani. Kami turun ke jalan adalah simbol dari ketidakadilan. Kami tak mau ketidakadilan di negeri ini terus berlangsung menyengsarakan masyarakat. Jika kami merupakan jiwa mereka yang tertindas, kami datang kemari menuntut atas jiwa-jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu buka hati anda, mata anda, telinga anda, dengar dan simak baik-baik. Jika anda masih saja melakukan praktek-praktek yang berujung meyengsarakan bangsa ini, maka kami tak akan tinggal diam sampai tetes darah penghambisan.”
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP MAHASIAWA!
Penulis adalah mahasiswi Jurusan Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN SMH Banten. Tinggal di Pandeglang. Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan 36 dan Zetizen Banten Jurnalistik 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar