Ilustrasi gambar dari film 99 Cahaya di Langit Eropa. |
Cerpen : Salsabil Dhiya al Azzah
Matahari mulai menggantungkan diri di langit, baru saja burung-burung gereja yang ada di atas genting pondok, mengepakkan sayapnya untuk pergi. Merasa bosan apa yang selalu mereka makan, saat malam hari tiba, kiai selalu menaruh perintilan jagung di atas genting pondoknya, mungkin mereka para burung ingin menu makanan terbaru.
“Dasar burung kufur, sudah dikasih malah tidak tahu terima kasih. Kalau aku yang diberi itu oleh kiai, aku akan memakannya sampai titik darah penghabisan!” celetuk Sulaiman kesal saat mendongak keatas genting. Dari kejauhan, kiai Zakaria hanya tersenyum mendengar ocehan santrinya itu.
“Jangan meledek…” ucap kiai sambil melempar sandal gapyak di atas tanah tandus berwarna merah, lalu memakainya.
“Nggih kiai, hampura kiai.” Sulaiman menundukkan pandangannya, merasa ucapannya barusan adalah malapetaka bagi dirinya jika berhadapan dengan salah satu kiai mantap ini. Kiai Zakaria pun mendekat kearah Sulaiman kemudian menepuk bahunya.
“Nanti kita belikan pizza buat si burung,” kata kiai berguyon, membuat Fathur dan Rauf yang berada di belakang Sulaiman tertawa nyumput, Sulaiman pun ikut terkekeh.
***
“Iya, ada apa Asiyah?” kata Sulaiman sambil bergegas mendekat. Asiyah adalah adik kelasnya, ia duduk di kelas sebelas sedangkan Sulaiman berada di kelas dua belas.
“Kang, kok Kang Badrul bisa dihukum sih?”
“Itu sih gara-gara dia yang terlalu terobsesi sama kamu, dan kamunya yang gak peka. Kamu belum bisa menerima si Badrul? Atau ada seseorang yang kamu sukai? Jujur aja,” bujuknya halus.
“Kalau saya jujur, takut Kang Sule marah.”
“Udah jujur aja, semuanya biar jelas. Kasihan atuh si Badrulnya.”
“Asiyah sukanya sama Kang Sule bukan sama Kang Badrul. Sebenarnya surat yang waktu itu bukan buat Kang Badrul tapi buat Kang Sule, Maria salah kasih,” Asiyah menyenggol bahu Maria yang berada di sebelahnya.
“Hampura Kang,” ucap Maria sambil menunduk.
Sulaiman mengambil napas panjang dan sangat berat, ia mengulum bibirnya cuek.
“Maaf Dek, tapi Kang Sule nggak ada perasaan untuk Dek Asiyah. Lagian kita masih dalam proses belajar. Gak baik untuk pacaran atau semacamnya karena takut mengganggu. Kang Sule minta maaf,” Sulaiman pergi meninggalkan Asiyah yang terlalu berharap kepadanya.
‘Asiyah menangis tersedu-sedu di pelukan Maria, sebelumnya tidak pernah ada lelaki yang tidak mau dengannya. Bisa dikatakan cantiknya Asiyah tak ada bandingannya di asrama puteri. Dan baru kali ini seorang pria yang sama selaras dengannya, menolak dengan sangat halus.
****
Angin kecil meniup di kala malam tiba, malam ini Sulaiman mendapat giliran masak bersama Agung di dapur. Sedangkan untuk santri puteri, giliran Sumi dan Asiyah. Suara hiruk piruk ongsengan nasi goreng membuat suasana di dapur menjadi seperti di pasar.
“Kecapnya kurang, garamnya juga, Kang Agung. Tolong ambilkan masako di dalam lemari. Kang Sule potongin bawang merah, nanti kalau sudah, tolong kasih ke si Asiyah, biar ditumis.”
“Kok nggak ada emak dapur sih? Kan jadi ribet.” Celoteh Agung sambil memberikan masako kepada Sumi.
“Sudah jangan ngedumel aja,” kata Sulaiman sambil menangis karena perihnya bawang yang ia potong. Selesai memotong bawang, ia langsung memberikannya pada Asiyah, Asiyah menerima potongan bawang tersebut dengan sangat geram, ia masih tidak percaya dengan kenyataan yang sebenarnya bahwa Sulaiman dengan sangat tega menolak cintanya
Setelah acara masak-memasak selesai kini giliran Ibnu, Aji, Laras, dan Ningrum yang masuk ke dapur untuk menyajikan makanan kepada tamu santri.
Sulaiman pergi ke kamarnya, ingin memurojaah hafalan 30 juznya. Saat sedang murajaah di surat Al-Kahfi, tiba-tiba saja perutnya sakit melilit, ia lari menuju kamar mandi.
Setelah selesai, Sulaiman membuka kenop pintu kamar perlahan. Alangkah terkejutnya ketika mendapati wanita yang sedang ingin membuka pakaian di dalam kamarnya.
“ASTAGHFIRULLAH…!!!” Sulaiman memekik sambil berbalik badan.
“HAH! SIAPA KAMU?... TOLONG!!!” Zahira tak kalah suara.
Saat Sulaiman ingin membuka pintu, hasilnya nihil. Mereka berdua terkunci di dalam kamar itu.
“Tenang, tenang… saya tidak akan apa-apakan kamu,” ucap Sulaiman menenangkan.
“Tenang bagaimana? Kamu sudah lancang masuk ke kamar ini,” Zahira agak gelisah.
“Loh… yang harusnya mengomel tuh saya toh, ini kan kamar saya,” ucapan Sulaiman membuat Zahira terlonjak.
“Apa? kamar sampeyan… hahaha,” Zahira malah cengingisan.
“Loh kalo ndak percaya silahkan lihat poster nama yang ada di belakangmu itu, di situ tertulis Sulaiman Arifudin dan Badrul Allamsyah.” Zahira mengecek apa yang diucapkan Sulaiman, ia benar-benar sangat tidak menyangka, Ternyata kamar itu milik Sulaiman.
“Maaf, tapi wallahi saya tidak tahu sama sekali jika ini kamar kamu, saya hanya ingin beristirahat sejenak, saya nyasar entah kemana. Tiba-tiba saya ketemu dengan lelaki yang namanya Badrul, ia menunjukkan kalau ini adalah kamar yang sudah tidak terpakai lagi dan bisa untuk beristirahat.” Sulaiman menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Zahira menyebutkan nama Badrul.
“Pasti ini kerjaannya si bocah kemplung itu… awas kau Badrul.” Setelah itu hening menerkam di antara mereka, tak ada yang bisa memulai bicara atau sekedar bergerak sedikit pun. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi Badrul tak kunjung membukakan pintu untuknya. Jika didobrak, maka akan menimbulkan suara yang bisa membuat para santri lainnya merasa terganggu. Jadi, Sulaiman menyarankan agar Zahira tidur di kasurnya sedangkan ia di lantai yang beralaskan semen dingin.
Keesokan harinya terdengar kegaduhan yang berasal dari kamar Sulaiman dan Badrul.
“Hampura Kiai, kami gak melakukan zina sama sekali,” ucap Zahira sambil menangis terisak ketika kiai pondoknya menemukannya tidur sekamar dengan Sulaiman.
Mereka berdua diarak menuju halaman aula yang luas, semua mata tertuju pada mereka berdua yang tidak bersalah apa-apa.
“Kiai kecewa sama kamu ndok, kecewa sekali, kenapa kamu melakukan perbuatan keji seperti itu,” ucap Kiai Amir, pengurus pondok pesantren yang Zahira tempati.
Sedangkan Kiai Zakaria hanya tertunduk sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, ia tak menyangka jika anak yang selalu dibanggakannya selama ini melakukan hal yang sudah jelas dilarang oleh agama, padahal di dalam Alquran tertulis jelas ada ayat yang menerangkan tentang dilarang untuk berbuat zina.
Saat hukuman sabet dengan rotan sebanyak seratus kali ingin dilayangkan, Badrul maju ke tengah-tengah mereka berdua.
“Hampura Kiai, sebelumnya saya sangat-sangat minta maaf.” Kiai memerintahkan sobur,yang bertugas menjadi algojo untuk menahan rotannya.
“Cerita yang sebenarnya adalah begini, saat Zahira kebingungan mencari kamar untuk istirahat, saya bingung harus bagaimana. Jika saya antarkan dia ke asrama putri yang terlalu jauh dari termpatnya nyasar, maka saya akan ketinggalan tontonan bola saya, Kiai…” seluruh santri yang melihat langsung menyoraki Badrul, tapi Kiai mengangkat tangan kanannya tanda jangan berisik.
Badrul pun melanjutkan. “Jadi saya terpaksa membawanya ke kamar saya dan berbohong telah mengatakan jika itu adalah kamar yang suka dipakai istirahat dan saya tidak kepikiran bahwa si Sulaiman masuk ke dalam kamar itu. Dan mereka terkunci di sana pasti karena kenopnya error, kiai,” jelasnya panjang lebar membuat Sulaiman dan Zahira lega.
“Baiklah, hukuman rotan kalian berdua akan saya cabut dan sebagai gantinya Badrul. kau harus mempertanggungjawabkan apa yang telah kau perbuat sampai-sampai teman-temanmu menjadi korban. Kesalahan pertamamu, kau menonton bola tanpa izin. Kedua, kamu berani berbohong, jadi hukumanmu adalah harus mengkhatamkan hafalan 30 juz dalam satu malam, mengerti?” kata Liai panjang lebar.
“Nggih kiai… hampura sekali lagi.” Badrul menurut.
“Nak Sulaiman...” tegur Kiai Amir lembut.
“Nggih Kiai…”
“Jujur sama Kiai, apakah kamu sudah melihat tubuh dan rambut Zahira?” Pertanyaan tersebut membuat Zahira tertunduk malu.
“Nggih Kiai, tapi saya tidak sengaja melihatnya. Kalau saya disuruh mempertanggungjawabkannya, saya siap untuk menikahi Zahira!”
Zahira mendongakkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sulaiman barusan. Kiai Amir mangguk-mangguk.
“Zahira… apakah kamu siap menerima Sulaiman menjadi calon imammu?” Tanya Kiai.
Zahira mengangguk pertanda kalau ia menerima Sulaiman menjadi calon imamnya.
“Badrul, tolong telepon orangtua Sulaiman agar datang setelah zuhur. Indri, tolong beritahu orangtua Zahira agar datang setelah zuhur,” Badrul dan Indri segera bergegas pergi ke dalam kantor yang terdapat telepon rumah untuk menghubungi orangtua kedua mempelai.
****
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak saya Zahira dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai… sah?”
“SAH…” seru ribuan santri pendatang dan santri dari pondok Sulaiman sendiri.
“SAH… SAH… pokoke SAH!!!” seru Badrul, Rauf, dan Fathur sangat antusias secara berbarengan.
Setelah acara pernikahan Sulaiman dengan Zahira selesai, lomba tahfiz Alquran langsung diadakan malam harinya. Kedua pengantin baru tersebut pun langsung mengikuti lomba tersebut.
Tak terasa sudah di penghujung enam hari, semua santri pendatang harus meninggalkan pondok pesantren Semarang. Tiba saatnya pengumuman, semuanya berkumpul di aula, untuk melihat nama-nama yang lulus seleksi yang akan di kirim ke berbagai negara.
Zahira berlari menuju papan pengumuman bersama Sulaiman, alangkah terkejut keduanya ketika mendapati tujuan Negara yang sama yaitu Mesir.
“Alhamdulillah dek,” ucap Sulaiman seraya memeluk Zahira.
“Iya Alhamdulillah…” Zahira membalas pelukan Sulaiman dengan sangat erat. (*)
Salsabil Dhiya al Azzah, mahasiswi Universitas Al-Khairyah semester 3. Tinggal di Merak, Cilegon. Penulis bisa dihubungi di akun Instagram: @salsabildhiyazzh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar