Asep dan peserta Kelas Menulis Rumah Dunia. |
Oleh Asep Saipi (Zetizen Icon 2018)
Untuk mewujudkan pendidikan berkualitas tentu harus melihat permasalahan yang terjadi di Indonesia terlebih dahulu. Fenomena ayam kampus dan juga kurangnya literasi di kalangan mahasiswa sebagai pelaku intelektual.
Kompas.com menyebut, puluhan siswi dan mahasiswi aktif diduga terlibat dalam jaringan prostitusi terselubung di Provinsi Banten. Umumnya kegiatan itu tidak diketahui orangtua Karena mereka melakukan perbuatan asusila itu pukul 15.00 – 21.00 WIB. Pelanggannya bukan hanya masyarakat umum, tetapi juga kalangan pejabat. Pelaku berasal dari kalangan pelajar putri dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga mahasiswi. Sebagian besar dari mereka masih aktif bersekolah atau kuliah. Alasannya karena terdesak kebutuhan ekonomi.
Sistem perekrutannya dari mulut ke mulut. Biasanya pelajar terjun kedunia prostitusi karena dikenalkan temannya yang sudah lebih dahulu menjadi seks komersial.
Pembentukan karakter meliputi sikap, attitude, pola pikir, dan perilaku. Sikap meliputi adab, rasa tanggung jawab, peduli, kemandirian. Attitude meliputi cara berbicara, bertindak, memperlakukan orang lain. Pembentukan karakter Dimulai sejak usia lima tahun keatas, karena pada umur tiga sampai limatahun kemempuan nalar seseorang belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja stimulus yang dimasukan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orangtua, dan lingkungan keluarga.
Dari sinilah awal kali pondasi pembentukan karakter. Karakter tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Maka sistem pendidikan berkualitas itu dimulai sejak dini dengan menerapkan pendidikan karakter.
Pendidikan sekolah seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan pengambilan keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving) dan membina perkembangan moral dengan cara menuntut peserta didik untuk mengembangkan aturan berdasarkan keadilan/kepatutan.
Hal ini guna memberikan didikan awal untuk pembentukan karakter. Sementara dalam sebuah hadits Nabi, ada beberapa tahapan untuk pemberian edukasi terhadap anak yaitu:
a. Tauhid (dimulai sejak 0-2 tahun)
b. Adab (5-6) tahun
c. Tanggung jawab (7-8 tahun)
d. Peduli (9-10 tahun)
e. Kemandirian (11-12 tahun)
f. Bermasyarakat (13 tahun keatas)
Setelah pembentukan karakter untuk menciptakan pendidikan berkualitas, tidak cukup dengan memiliki karakter yang baik. Tetapi juga perlu adanya pembelajaran secara teoritis. Untuk menumbuhkan jiwa intelektualitas tentunya harus banyak membaca untuk memperluas ilmu dan wawasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan sastrawan terkenal, dengan membaca kita mengenal dunia, dengan menulis kita dikenal dunia.
Kita lihat pendidikan di Indonesia. Jahatnya pendidikan kita adalah ketika setiap anak tidak bisa yakin bahwa dia berbeda dengan orang lain. Bahkan ki hajar dewantara pernah bilang bahwa “padi tidak akan bisa menjadi jagung.” Padi ya padi jagung ya jagung jangan disama-samakan.
Masalahnya pendidikan kita semua harus di standarisasi itu yang menjadi masalah dengan UN bahwa setiap sekolah berbeda, setiap anak berbeda tapi kalau lulus harus sama.
Einsten pernah bilang, “Semua anak genius, tapi kalau kamu nilai ikan dari cara dia memanjat pohon, ikan itu akan merasa bodoh seumur hidupnya.” Salah satu ciri bahwa pendidikan di Indonesia masih bermasalah adalah karena beberapa instutusi pendidikan memaksa siswanya untuk hafal. Padahal kuncinya bukan itu.
Kuncinya adalah paham dan tau bagaimana cara aplikasinya. Seperti contoh seorang supporter Persija disuruh untuk menyebutkan pemain sepakbola persija tentu dia akan tahu dan hafal. Padahal tidak diajarkan di sekolah. Kenapa dia hafal? Karena dia minat.
Maka kuncinya buat para siswa minat dalam pelajaran bukan di paksa dia suruh hafal. Maka salah satu cara agar siswa mengenal pelajarannya ialah dengan cara membaca. Tumbuhkan minat baca terutama literasi agar siswa mudah belajar dan mengenal pelajarannya.
Tujuan literasi memiliki banyak sekali keuntungan bukan hanya melatih kita untuk gemar membaca tetapi juga untuk menyerap informasi yang dibaca dan dirangkum dengan bahasa yang dipahaminya.
Menurut Alberta, literasi bukan hanya kemampuan untuk membaca dan menulis namun, menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan berfikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Beers (2009) dalam literasi sekolah menekankan pada prinsi-prinsip berikut ini:
1. Program literasi yang baik bersifat berimbang, sekolah yang menerapkan prinsip ini maka akan menyadari bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu sama lain. maka dari itu, diperlukan strategi membaca dan variasi teks.
2. Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting, dalam prinsip ini siswa dituntut untuk dapat berdiskusi mengenai suatu informasi tertentu dan dalam diskusi, membuka kemungkinan perbedaan pendapat dan diharapkan dapat mengungkapkan perasaan dan pendapatnya untuk melatih kemampuan berfikir lebih kritis.
3. Program literasi berlangsung di semua kurikulum, program literasi ditunjukan oleh seluruh siswa jadi tidak bergantung pada kurikulum dan membiasakan kegiatan literasi adalah kewajiban guru semua mata pelajaran.
4. Keberagaman perlu dirayakan di kelas dan di sekolah, para siswa disediakan buku-buku yang bertemakan kekayaan budaya Negara Indonesia agar lebih mengenal budaya yang ada dan ikut melestarikannya.
Jika sudah terlaksana. pertumbuhan minat baca masyarakat akan menjadi meningkat dan bukan hanya jadi budaya. Tetapi juga sebagai kebutuhan yang tidak akan pernah bisa lepas dari kegiatan masyarakat Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar